Istana Lima Laras berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter. Pendirinya Datuk Matyoeda, Raja XIII dari Kerajaan Lima Laras yang lahir pada tahun 1883 dan akhirnya wafat pada tahun 1919. Tepatnya 7 tahun Istana Lima Laras berdiri dan menjadi pusat pemerintahan di Batubara. Makamnya pun masih dapat kita lihat di kawasan Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda adalah putra tertua dari aja sebelumnya, yakni Datuk H Djafar gelar Raja Sri Indra.
Menurut sejarah, Kerajaan Lima Laras diperkirakan telah ada sejak abad XVI, dan tunduk pada Kesultanan Siak di Riau. Semula istana ini bernama Istana Niat Lima Laras, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana kerajaan. Sebelumnya pusat pemerintahan sering berpindah-pindah karena belum punya istana yang permanen.
Niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka. Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan Kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana. Kekuasaan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian raja dan kesultanan dihabisi para kaum nasionalis dan bala tentara Jepang. Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda. Akan tetapi, di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit. Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhanbatu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhanbatu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan tidak dapat dilindungi asukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang). Inilah peninggalan raja-raja tempo dulu, yang kini sulit dilestarikan, karena pemerintah sama sekali kurang memerhatikan cagar budaya nasional. Budaya, sesungguhnya bisa dijual untuk kepentingan bangsa dan negara, lewat wisata budaya yang ditinggalkan para sultan atau raja-raja tempo doeloe. |
Selasa, 20 November 2012
SEJARAH ISTANA LIMA LARAS
SEJARAH LEPASNYA TIMOR-TIMUR
MENGENANG KASUS LEPASNYA TIMOR TIMUR
DARI INDONESIA
Kasus Timor Timur merupakan kisah
sedih tentang lepasnya sebuah daerah yang sudah banyak mengorbankan nyawa,
biaya, dan perhatian di Indonesia beberapa tahun silam.
Dahulu sebelum bergabung dengan
Indonesia di Timor Timur lahir lima partai, yaitu; partai UDT yang menginginkan
Timor Timur bergabung dengan portugal, partai ASDT yang berganti nama menjadi
FRETILIN menginginkan Timor Timur menjadi Negara merdeka, serta tiga partai
lain yang menginginkan Timor Timur bergabung dengan Indonesia yaitu: AITI yang
berubah nama menjadi APODETI, KOTA, dan Partido Trabalhista/Partai Buruh.
Kemudian pada 11 September
1975 tiba-tiba UDT mendeklarasikan keinginannya untuk bergabung dengan
Indonesia. Dan pada 28 November 1975 atas cetusan FRETILIN, Timor Timur pun
merdeka dengan nama Republik Demokratik Timor Timur. Deklarasi tersebut tidak
diterima partai lain yang Pro-integrasi, sehingga kelompok Pro-integrasi
mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan meminta
dukungan agar Indonesia ambil alih Timor Timur dari kekuasaan FRETILIN yang
berhaluan marxis-Komunis.
Saat Indonesia mendarat di Timor
Timur pada 7 Desember 1975, FRETILIN dan ribuan rakyatnya mengungsi ke
pegunungan untuk melawan Indonesia. Pada akhirnya penduduk banyak yang
meninggal karena pemboman dari udara oleh Indonesia, kelaparan, penyakit, dan
bahkan ada yang karena dibunuh sesama FRETILIN di hutan.
Perbedaan sikap politik antara
partai-partai yang ada menimbulkan perang saudara dan Indonesia terus mengikuti
kondisi atas peristiwa tersebut. Adapun tanggapan Indonesia terhadap permintaan
kelompok Pro-integrasi yaitu menerima Timor Timur sebagai bagian dari
Indonesia. Timor Timur pun bergabung dengan Indonesia secara
legal/resmi sesuai UU.No7/1976, pada tanggal 17 Juli 1976.
Integrasi “bumi Loro Sae“ ke NKRI tersebut
merupakan buah aspirasi masyarakat Timor Timur sendiri melalui deklarasi
Balibo. Karena bergabung di Indonesia belakangan, Timor Timur pun bukan bagian
utuh dari Indonesia, karena tidak termasuk dalam Indonesia pada saat Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
Pada waktu itu Presiden Habibie menganggap pembiaran integrasi Timor
Timur ke Indonesia oleh dunia internasional (terutama Amerika dan sekutunya)
disebabkan saat itu terjadi kekosongan kekuasaan di Timor Timur dan karena
khawatir Timor Timur menjadi daerah komunis lewat FRETILIN. Namun setelah Blok Timur/Komunis
runtuh, dunia barat mulai mempermasalahkan integrasi Timor Timur tersebut.
Selain desakan referendum oleh
PBB dan Portugal serta desakan internasional, sejak awal peralihan Orde Baru ke
Reformasi Timor Timur masih terus menjadi beban bagi Indonesia karena gejolak
masyarakat disana yang sebagian besar pro referendum sementara tidak sedikit
curahan sumber daya untuk Timor Timur yaitu 93% APBD provinsi ini ditanggung
oleh Negara yang jauh berbeda dengan bantuan untuk daerah lain.
Alokasi
dana dari Indonesia ditujukan untuk pembangunan di Timor Timur yang luasnya
14.609 km². Bantuan itu berupa dana pembangunan daerah (inpres) dan dana
sektoral masing-masing berjumlah Rp 350,7 miliar dan Rp 602,4 miliar yang
mendorong kemajuan di Timor Timur. Hasilnya kesejahteraan sosial , angka melek
huruf, ruas jalan beraspal, hingga bangsal di Rumah Sakit pun terus bertambah. Bahkan
saat semakin besar potensi untuk berpisah dengan Indonesia tahun 1999, Timor
Timur masih menerima alokasi APBN sebesar Rp 187,3 Miliar untuk pembangunan
provinsi, kota, desa, dan jaringan pengaman sosial, serta untuk menanggulangi
kemiskinan. Sehingga Timor Timur menjadi seperti benalu bagi Indonesia bahkan sampai di akhir-akhir masa
integrasinya.
Selain
dana yang cukup besar dari pemerintah untuk Timor Timur, masalah daerah lain
yang ikut ingin merdeka, masalah gerilya politik oleh kelompok Anti-integrasi,
dan kritik serta kecaman Negara-negara barat atas pelanggaran HAM di Timor
Timur yang terus ditujukan kepada Indonesia, semua itu semejak Timor Timur
menjadi provinsi ke-27 di Indonesia.
Dan perang saudara selama
3 bulan (September-November 1975) di Timor Timur dan pendudukan Indonesia
selama 23 tahun (1976-1999), sudah lebih dari 200.000 orang meninggal dan
183.000 diantaranya disebabkan tentara Indonesia yaitu karena keracunan bahan
kimia dari bom. Karena hal tersebut PBB tidak setuju dengan integrasi Timor
Timur ke Indonesia. Ketidaksetujuan PBB juga dikarenakan ada kaum
anti-kemerdekaan yang didukung Indonesia melakukan pembantaian balasan secara
besar-besaran dimana sekitar 1.400 jiwa tewas dan 300.000 jiwa dipaksa
mengungsi ke Timor Barat.
Untuk mengatasi permasalahan
di Timor Timur, pemerintah Indonesia menawarkan otonomi diperluas dengan status
khusus/otonomi khusus. Namun PBB dan Portugal tetap menolak dan mendesak dengan
alasan walau kebijakan itu dibuat, kedepannya Timor Timur tetap meminta
referendum. Hal tersebut tentu saja merugikan Indonesia.
Akhirnya jajak pendapat pun dilakukan untuk memberi kebebasan
kepada rakyat Timor Timur untuk menerima ataupun menolak tawaran otonomi
khusus. Ternyata hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan 78,5% menolak (ingin
merdeka) dan 21,5% menerima (masih ingin bergabung dengan Indonesia). Dengan
kata lain lebih banyak rakyat Timor Timur yang memutuskan untuk merdeka dan
berpisah dari Indonesia. Kenyataan pahit tersebut harus diterima Indonesia
karena itu pilihan rakyat Timor Timur sendiri.Dan pada 20 Mei 2002 Timor Timur
diakui dunia sebagai Negara merdeka dengan nama Timor Leste/ Republica
Democratica de Timor Leste dan mendapat sokongan dana yang luar biasa dari PBB.
Dan sejak merdeka, pemerintah Timor Leste berusaha memutus segala hubungan
dengan Indonesia seakan Indonesia penjajah dan tidak pernah membantu mereka.
Dengan kata lain Timor Timur tidak tahu berterimakasih atas apa yang pernah
dilakukan Indonesia terhadapnya.
Lepasnya Timor Timur menjadi catatan kelam bagi Indonesia karena
dipertahankan dengan penuh pengorbanan, dana, dan nyawa. Diperkirakan lebih
dari 5.000 pahlawan gugur dalam perang seroja demi mempertahankan provinsi ini.
Permasalahan lepasnya Timor Timur dari Indonesia sempat menjadi
kesempatan lawan politik Presiden Habibie (yang saat itu menggantikan Presiden
Soeharto) untuk menjatuhkan Presiden Habibie. Lepasnya Timor Timur juga
dianggap sebagai ketidakmampuan Pak Habibie dalam mempertahankan Provinsi Timor
Timur yang saat itu menjadi bagian dari Indonesia.
Namun,
semua sudah jelas bahwa dari sejarahnya kita mengetahui lepasnya Timor Timur
tidak lain adalah keinginan masyarakatnya sendiri ditambah desakan dunia
internasional. Jadi, Indonesia dan Presiden Indonesia yang menjabat pada waktu
itu tidak salah dalam kasus Timor Timur, karena Indonesia telah menjaga dan
mempertahankan wilayah tersebut sebelumnya. Dan lepasnya Timor Timur adalah memang
jalan keluar terbaik pada saat itu.
Pengalaman Indonesia dalam masalah ini menjadi sebuah pelajaran
tentang kehilangan suatu wilayah yang pernah dipertahankan. Dan diharapkan
jangan sampai ada daerah-daerah lain di Indonesia yang menginginkan kemerdekaan
seperti itu lagi. Terlebih daerah lain merupakan bagian utuh Indonesia sejak
kemerdekaan dan mempunyai kesamaan nasib di masa lalu, dan bukan merupakan
wilayah yang baru bergabung.
Minggu, 18 November 2012
DINASTI KEDIRI
DINASTI KEDIRI / PANJALU
Dinasti Kediri merupakan
sebuah Kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12 dan masih merupakan
bagian dari Kerajaan Mataram Kuno, karena Kerajaan ini lahir atas pembagian Kerajaan
Mataram oleh Raja Airlangga menjadi 2 Kerajaan baru pada tahun 1401.
Pembagian oleh Raja Airlangga itu dilakukan untuk
mencegah ataupun menghindari terjadinya perselisihan diantara kedua putranya
yang bersaing memperebutkan takhta dan sama-sama berambisi menjadi Raja. Dua Kerajaan
yang dibagi oleh Raja Airlangga adalah Dinasti Kediri/ Panjalu yang beribukota
di Daha dan Dinasti Jenggala yang beribukota di Kahuripan.
Batas antar dinasti Kediri dan
Jenggala ada 2 versi
:
-
Versi I,
batasnya Gunung Kawi dan Sungai Berantas
1. Bagian barat merupakan bagian dari Kerajaan Kediri
(untuk Samarawijaya)
2. Bagian timur merupakan bagian dari Kerajaan
Jenggala (untuk Mapanji Garasakan)
-
Versi II,
batasnya Kali Lamong
1. Sebelah selatan kali menjadi bagian Kerajaan Kediri
2. Sebelah utara kali menjadi bagian Kerajaan Jenggala
SEJARAH SINGKAT DINASTI KEDIRI
Dinasti Kediri/ Panjalu diberikan Airlangga kepada putranya yang kedua,
Sri Samarawijaya keturunan Dharmawangsa Teguh, sebagai pewaris Kerajaan yang
mendapat ibukota lama yang berpusat di kota Dahanapura/ Daha yang berarti kota
api.
Pada awalnya letak Kerajaan
Kediri berada di Daha yang terletak di pedalaman dan merupakan Kerajaan
agraris. Dalam perkembangannya, ibukota Kerajaan Kediri yang berada di Daha
dipindahkan ke wilayah Kediri. Kerajaan Kediri semakin berkembang. Kemudian pusat
Kerajaannya di tepi sungai berantas, pada masa itu menjadi jalur pelayaran yang
ramai.
Pada masa kejayaannya Kediri berkembang menjadi Kerajaan
maritim yang menguasai perairan timur wilayah Nusantara. Dan pada masa kejayaan
itu wilayah Kerajaan Kediri meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di
Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
RAJA-RAJA DINASTI KEDIRI
Masa-masa awal Kerajaan Kediri tidak banyak
diketahui. Berdasarkan bukti yang sudah ada, hanya memberitahukan adanya perang
saudara yang terjadi antara kedua Kerajaan sepeninggal Raja Airlangga.
Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada,
diketahui nama Raja-Raja yang pernah memerintah Kerajaan Kediri, antara lain :
a. SAMARAWIJAYA (1042)
Samarawijaya adalah putra Airlangga. Ia merupakan Raja
pertama sekaligus pendiri Kerajaan Kediri, Samarawijaya tidak diketahui dengan
pasti berlangsung berapa lama masa pemerintahannya. Kemungkinan Raja
Samarawijaya memulai pemerintahannya pada saat pemisahan Kerajaan oleh Airlangga,
yaitu sekitar tahun 1042. Tahun itu merupakan tahun yang sama dengan tahun yang
tertulis di Prasasti Pamwatan.
b. JAYASWARA (1104-1115)
Raja kedua Kerajaan Kediri adalah Sri Jayawarsa,
yang disebut dalam Prasasti Sirah Keting (1104), namun belum dipastikan bahwa ia
pengganti langsung Samarawijaya atau bukan. Ia merupakan Raja yang sangat giat
memajukan sastra sehingga ia dikenal dengan gelar Sastra Prabu (Raja Sastra).
Pada masanya Kresnayana dikarang Mpuh Triguna.
c. BAMESWARA (1115-1135)
Raja ketiga Kerajaan Kediri adalah Sri Bameswara
yang disebut dalam Prasasti Pandegelan I (sekitar 1116/ 1117), Prasasti
Panumbangan (1120), dan Prasasti Tangkilan (1130).
d. JAYABHAYA (1135-1157)
Raja keempat sekaligus Raja terbesar Kerajaan Kediri
adalah Sri Jayabhaya yang disebutkan dalam Prasasti Hantang (1135), Prasasti
Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157). Jayabhaya merupakan Raja yang menjadi
kenangan bagi rakyatnya, karena pada masa pemerintahnnya Kerajaan Kediri
berhasil menaklukan Kerajaan Jenggala dan berhasil mencapai puncak kejayaan Kerajaan
Kediri.
e. SARWESWARA (1159-1169)
Raja kelima Kerajaan Kediri
adalah Sri Sarweswara yang disebutkan dalam Prasasti Pandegelan II (1159) dan
Prasasti Kahyunan (1161).
f. ARYESWARA (1169-1180/1181)
Raja keenam Kerajaan Kediri
adalah Sri Aryeswara yang disebutkan dalam Prasasti Meleri (1169) dan Prasasti
Angin Tahun (1171).
g. SRI GANDHRA (1181-1182)
Raja ketujuh Kerajaan Kediri
adalah Sri Gandhra yang disebutkan dalam Prasasti Jaring (1181), masa
pemerintahannya selama kurang lebih satu tahun.
h. KAMESWARA (1182-1194)
Raja kedelapan Kerajaan Kediri
adalah Sri Kameswara yang disebutkan dalam Prasasti Ceker (1182) dan dalam Kakawin
Smaradhana. Dalam Kakawin dikisahkan tentang perkawinan antara Kameswara dengan
Putri Jenggala.
i. KERTAJAYA (1194-1222)
Raja kesembilan sekaligus Raja
terakhir Kerajaan Kediri adalah Kertajaya yang disebut dalam Prasasti
Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), Prasasti
Wates Kulon (1205), dan Kakawin Negarakertagama serta Kakawin Pararaton. Dalam Kakawin
dikisahkan tentang perang Ganter saat masa akhir pemerintahan Raja Kertajaya.
j. JAYAKATWANG
(1292-1293)
Jayakatwang juga merupakan
Raja yang berhasil membangun kembali Kerajaan Kediri setelah berhasil
memberontak terhadap Singosari sekaligus membunuh Raja Kertanegara. Namun,
keberhasilannya hanya bertahan setahun akibat serangan menantu Kertanegara dan
pasukan Mongol, sehingga runtuhlah Kerajaan Kediri.
PERKEMBANGAN KEJAYAAN DINASTI KEDIRI
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya, Kerajaan Kediri
mengalami masa kejayaannya. Wilayah Kerajaan Kediri pada masa pemerintahannya
meliputi seluruh Jawa dan beberapa wilayah/ pulau di Nusantara, bahkan sampai
mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwjaya di Sumatra. Selain itu, menurut kronik
China tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain China secara
berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Dan di Jawa sendiri, yang dimaksud
itu adalah Kerajaan Panjalu/ Kediri. Pada masa kejayaannya, Kerajaan ini juga
berkembang menjadi Kerajaan maritim yang menguasai perairan timur wilayah
Nusantara. Pada masa pemerintahan Jayabhaya juga Kerajaan Kediri berhasil
menaklukan Kerajaan Jenggala.
KERUNTUHAN DINASTI KEDIRI
Kerajaan Kediri runtuh
pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, dan dikisahkan dalam Kitab/ Kakawin
Pararaton dan Negarakertagama. Pada tahun 1222, Raja Kertajaya berselisih
dengan kaum Brahmana. Kaum Brahmana lalu meminta bantuan kepada Ken Arok Raja
dari Kerajaan Singosari. Saat itu Ken Arok juga memiliki cita-cita memerdekakan
Tumapel/ Singosari dari Kerajaan Kediri. Akhirnya pasukan Kediri yang dipimpin
Kertajaya berhasil dihancurkan oleh Ken Arok lewat perang yang terjadi di dekat
desa Ganter, sehingga keadaan pun berbalik dan Kerajaan Kediri menjadi bawahan Singosari.
Saat itu Kediri belum benar-benar runtuh.
Saat Singosari dipimpin Raja
Kertanegara (1268-1292) terjadi pergolakan dalam Kerajaan. Jayakatwang yang
merupakan keturunan Kertajaya saat itu menjadi bupati Gelang-Gelang, yang
selama ini tunduk terhadap Singosari bergabung dengan Bupati Sumenep dari
Madura untuk menjatuhkan Kertanegara. Tahun 1292 Jayakatwang pun memberontak
terhadap Kerajaan Singosari dan membunuh Kertanegara, karena dendam masa lalu
dimana leluhurnya(Kertajaya) dikalahkan Ken Arok. Pemberontakan Jayakatwang
menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singosari. Akhirnya pada tahun 1292, Jayakatwang
berhasil membangun kembali Kerajaan Kediri.
Keberhasilan Jayakatwang
membangun kembali Kerajaan Kediri hanya bertahan satu tahun karena ada serangan
gabungan yang dilancarkan pasukan Mongol yang dikirim Kaitsar Kubilai Khan dan
pasukan Raden Wijaya (menantu Kertanegara sekaligus pendiri Majapahit nantinya)
serta pasukan Madura yang dipimpin Arya Wiraraja pada tahun 1293. Dalam
peperangan yang terjadi, pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan sehingga
benar-benar berakhir/ runtuhlah Kerajaan Kediri.
PENINGGALAN-PENINGGALAN KERAJAAN KEDIRI
Pada masa Kerajaan Kediri,
seni sastra terutama Jawa Kuno tumbuh dengan pesat, namun isi dari
sastra-sastra yang ada kurang mengungkap keadaan masyarakat pada zamannnya.
Gambaran kehidupan masyarakatnya justru diperoleh dari sumber asing dari China.
Dari Kitab asing diketahui masyarakat Kediri memakai kain sampai lutut, rambut
diurai, rumah-rumah teratur dan bersih, pertanian, dan perdagangan sudah maju,
peraturan berjalan dengan baik, mata uang perak, percaya pada Dewa/ Buddha, dsb.
Selain itu diketahui bahwa Kediri memiliki daerah-daerah taklukan.
Seni sastra mendapat perhatian
besar di masa Kerajaan Kediri. Peninggalan yang utama dari Kerajaan Kediri
adalah di bidang kesusastraan.
Banyak karya sastra yang diciptakan para pujangga
zaman Kediri, antara lain:
1.
Kakawin
Bharatayuddha yang dikerjakan bersama-sama oleh 2 Mpuh, Kitab ini ditulis Mpuh
Sedah dan diselesaikan oleh Mpuh Panuluh di tahun 1157 pada masa pemerintahan Sri
Jayabhaya. Kitab ini berisi kemenangan Pandawa atas Kurawa sebagai kiasan
kemenangan Jayabhaya atas Jenggala.
2.
Kakawin
Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya yang ditulis Mpuh Panuluh di masa Sri
Jayabhaya.
3.
Kakawin Smaradahana
yang ditulis Mpuh Dharmaja pada masa pemerintahan Sri Kameswara.
4.
Kakawin
Sumanasantaka yang ditulis Mpuh Monaguna dimasa Kertajaya
5.
Kakawin
Kresnayana ditulis Mpuh Triguna di masa Jayaswara, yang berisi Raja Jayaswara
yang dilambangkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
Selain itu peninggalan Kediri juga ada yang berupa
Arca dan Prasasti-Prasasti. Peninggalan Arca seperti Arca Buddha Vajrasattva
dan Arca Syiwa serta patung Airlangga. Peninggalan Prasasti yaitu Prasasti
Pamwatan, Prasasti Sirah Keting, Prasasti Pandegelan I, Prasasti Panumbangan, Prasasti Tangkilan,
Prasasti Hantang, Prasasti Talan,
Prasasti Pandegelan II, Prasasti Kahyunan, Prasasti Meleri, Prasasti Angin
Tahun, Prasasti Jaring, Prasasti Ceker, Prasasti Galunggung, dan Prasasti
Kamulan.
Peninggalan Kediri di bidang pembangunan seperti
bangunan monumental tempat-tempat pemujaan ditemukan antara lain: Candi Gurah,
Candi Tondowongso, dan tempat pemandian Kepung. Semua bangunan itu menunjukkan
ciri Agama Hindu, sehingga dapat disimpulkan bahwa Agama Hindu merupakan Agama
utama yang dianut masyarakat di masa Kerajaan Panjalu/ Kediri.
G 3OS/ PKI
GERAKAN 30 SEPTEMBER / PKI
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G
30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok
(Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam
tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha
percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
LATAR BELAKANG
PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta
dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang
mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita
(Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya,
PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari
PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral
militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin".
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan
anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara
Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada
era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh
dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign
reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai memberikan 100.000 pucuk
senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke
Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada
bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah
dekrit presiden - sekali lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan
angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi
yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin".
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan
anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara
Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara
kepemimpinan PKI dan nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen
kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi
yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi
birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk
senjata jenis chung, penawaran
ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga
menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari
tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi
Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa
curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer.
Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan
"kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu
Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri
dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau
semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara"
subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak
mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan
polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh
propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak
peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan besar PKI
meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis
menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita
perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.
Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada
waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota
kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer
oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan
nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi
militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang
sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan
bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan
persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan
unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis". Rezim Sukarno
mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk
pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan
kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani
yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri
untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI
malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam
batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer,
berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan
dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan
aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit
parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan
kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit
tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan
merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal
tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.
Isu masalah tanah dan
bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang
Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang
Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil
pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai
politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di
daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap
dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa
pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol
dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan
peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan
sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan
Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di
Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga
terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai
bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini
membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September
tersebut).
Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno
dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam
gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan
penculikan petinggi Angkatan Darat.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang
menginjak-injak lambang negara
Indonesia dan ingin melakukan balas dendam
dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden
Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang
Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di
satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan
Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada
saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di
pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan
Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI
untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu
pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak
mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang.
Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo,
komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia
merasa operasinya disabotase dari belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari
kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya
sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno
merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya
kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri
yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah
keinginannya meng"ganyang Malaysia".
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan
"ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI
juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif
PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah
yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin
menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan
untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk
konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di
lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para
pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga
menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno
berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ...
Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI,
tetapi tidak sekarang."[2]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai
mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan
Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk
berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat
dari para jenderal ini.
Faktor Amerika Serikat
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke
tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu)
kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi
Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang
membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi
Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat
dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green
ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda
anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama
sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI
yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat
menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas
pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini,
menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit
Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk
dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak
bukti-bukti fisik.
Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah
mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak
sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan
semakin memperparah keadaan Indonesia. Inflasi yang mencapai 650% membuat harga
makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras,
minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang
berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan
gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang
menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat
Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek,
serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan
kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas
pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian
orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta
tempat-tempat lainnya.
Peristiwa
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin
oleh Letkol. Untung. Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Isu Dewan
Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul
isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat
yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa
untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang
tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut,
terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad
Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan
Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh
intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita"
yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak
Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar
nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas
intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber,
salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang
menulis buku "Indonesian Upheaval",
yang dijadikan basis skenario film "The
Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang
ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu
Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto
dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah
pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu
jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi
pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit
Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan
dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di
jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa
diantaranya adalah karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell
University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government
Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files,
Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John
Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup
d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang
Terlupakan).
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
- Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando
Operasi Tertinggi)
- Mayjen TNI Raden
Suprapto (Deputi
II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
- Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
- Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang
Intelijen)
- Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang
Logistik)
- Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal
Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris
Nasution yang menjadi sasaran utama,
selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas
Tendean tewas dalam usaha pembunuhan
tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
- Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana
Menteri II dr.J. Leimena)
- Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
- Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca kejadian
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua
sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI
menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para
perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap
pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh
Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan
terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel
Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari
1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak
berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi
pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan
nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya,
dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera
menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung
"pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim
pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk
mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap
tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan
Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto
pada saat Suharto disumpah[5]:
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha
dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan
dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi
terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim
Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha
perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain
di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang
berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan
pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Penangkapan
dan pembantaian
Pembantaian di
Indonesia 1965–1966 dan Penangkapan
Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung
PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai
kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang
lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan
diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak
diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang,
sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya
satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta
itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari
organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI
melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu
lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui
dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time"
memberitakan:
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling
sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin,
pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden
khusus dari Frankfurter Allgemeine
Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke
dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah
hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh
teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan
rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan
sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang,
termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes
Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir
25 tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan
untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini
pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan
atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967. Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti
kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap
dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto,
diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO
korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi
multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank,
General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American
Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase
Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan
murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New
Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana
kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan
asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex
mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna,
perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat
itu diterapkan.
Peringatan
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September.
Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari
Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada
masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti
di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan
revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya
tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang
peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai
pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia,
Depok. Selain civitas
academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan
Putmainah.
Daftar tokoh yang meninggal dalam
pembersihan komunis Indonesia
Berikut
adalah daftar tokoh penting di Indonesia yang hilang, terbunuh atau dihukum
mati pada masa pembersihan komunis di Indonesia paska Gerakan 30 September 1965.
- Chaerul Saleh,
pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri,
wakil perdana menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966. Salah satu pemuda
yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. (meninggal 1967 sebagai tahanan)
- DN Aidit, ketua PKI (meninggal ditembak 1965)
- Lukman Njoto, Menteri Negara pada
masa pemerintahan Soekarno dan wakil Ketua CC PKI yang sangat dekat dengan D.N. Aidit (ditangkap 1966 dan hilang)
- Muhammad
Arief, pencipta lagu "Genjer-genjer"
- M.H. Lukman, Wakil
Ketua CC Partai Komunis Indonesia. Termasuk dalam pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok (dihukum mati 1965)
- Sudisman, anggota Politbiro
CC PKI.
- Untung Syamsuri, Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang
memimpin Gerakan 30 September pada tahun 1965. (dihukum mati
1969)
- Wikana, seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia, bersama Chaerul Saleh dan Sukarni termasuk dalam
pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. (hilang)
Langganan:
Postingan (Atom)