Selasa, 20 November 2012

SEJARAH ISTANA LIMA LARAS



Istana Lima Laras berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter. Pendirinya Datuk Matyoeda, Raja  XIII dari Kerajaan Lima Laras yang lahir pada tahun 1883 dan akhirnya wafat pada tahun 1919. Tepatnya 7 tahun Istana Lima Laras berdiri dan menjadi pusat pemerintahan di Batubara. Makamnya pun masih dapat kita lihat di kawasan Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda adalah putra tertua dari aja sebelumnya, yakni Datuk H Djafar gelar Raja Sri Indra. 
Menurut sejarah, Kerajaan Lima Laras diperkirakan telah ada sejak abad XVI, dan tunduk pada Kesultanan Siak di Riau. Semula istana ini bernama Istana Niat Lima Laras, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana kerajaan. Sebelumnya pusat pemerintahan sering berpindah-pindah karena belum punya istana yang permanen.

Niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka.


Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan Kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.


Kekuasaan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian raja dan kesultanan dihabisi para kaum nasionalis dan bala tentara Jepang.


Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda.

Akan tetapi, di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit.

Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhanbatu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhanbatu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan tidak dapat dilindungi asukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).


Inilah peninggalan raja-raja tempo dulu, yang kini sulit dilestarikan, karena pemerintah sama sekali kurang memerhatikan cagar budaya nasional. Budaya, sesungguhnya bisa dijual untuk kepentingan bangsa dan negara, lewat wisata budaya yang ditinggalkan para sultan atau raja-raja tempo doeloe. 

SEJARAH LEPASNYA TIMOR-TIMUR


MENGENANG KASUS LEPASNYA TIMOR TIMUR
DARI INDONESIA

    Kasus Timor Timur merupakan kisah sedih tentang lepasnya sebuah daerah yang sudah banyak mengorbankan nyawa, biaya, dan perhatian di Indonesia beberapa tahun silam.
Dahulu sebelum bergabung dengan Indonesia di Timor Timur lahir lima partai, yaitu; partai UDT yang menginginkan Timor Timur bergabung dengan portugal, partai ASDT yang berganti nama menjadi FRETILIN menginginkan Timor Timur menjadi Negara merdeka, serta tiga partai lain yang menginginkan Timor Timur bergabung dengan Indonesia yaitu: AITI yang berubah nama menjadi APODETI, KOTA, dan Partido Trabalhista/Partai Buruh.
    Kemudian pada 11 September 1975 tiba-tiba UDT mendeklarasikan keinginannya untuk bergabung dengan Indonesia. Dan pada 28 November 1975 atas cetusan FRETILIN, Timor Timur pun merdeka dengan nama Republik Demokratik Timor Timur. Deklarasi tersebut tidak diterima partai lain yang Pro-integrasi, sehingga kelompok Pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan meminta dukungan agar Indonesia ambil alih Timor Timur dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan marxis-Komunis.
    Saat Indonesia mendarat di Timor Timur pada 7 Desember 1975, FRETILIN dan ribuan rakyatnya mengungsi ke pegunungan untuk melawan Indonesia. Pada akhirnya penduduk banyak yang meninggal karena pemboman dari udara oleh Indonesia, kelaparan, penyakit, dan bahkan ada yang karena dibunuh sesama FRETILIN di hutan.
    Perbedaan sikap politik antara partai-partai yang ada menimbulkan perang saudara dan Indonesia terus mengikuti kondisi atas peristiwa tersebut. Adapun tanggapan Indonesia terhadap permintaan kelompok Pro-integrasi yaitu menerima Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Timor Timur pun bergabung dengan Indonesia secara legal/resmi sesuai UU.No7/1976, pada tanggal 17 Juli 1976.
Integrasi “bumi Loro Sae“ ke NKRI tersebut merupakan buah aspirasi masyarakat Timor Timur sendiri melalui deklarasi Balibo. Karena bergabung di Indonesia belakangan, Timor Timur pun bukan bagian utuh dari Indonesia, karena tidak termasuk dalam Indonesia pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
    Pada waktu itu Presiden Habibie menganggap pembiaran integrasi Timor Timur ke Indonesia oleh dunia internasional (terutama Amerika dan sekutunya) disebabkan saat itu terjadi kekosongan kekuasaan di Timor Timur dan karena khawatir Timor Timur menjadi daerah komunis lewat FRETILIN. Namun setelah Blok Timur/Komunis runtuh, dunia barat mulai mempermasalahkan integrasi Timor Timur tersebut.
    Selain desakan referendum oleh PBB dan Portugal serta desakan internasional, sejak awal peralihan Orde Baru ke Reformasi Timor Timur masih terus menjadi beban bagi Indonesia karena gejolak masyarakat disana yang sebagian besar pro referendum sementara tidak sedikit curahan sumber daya untuk Timor Timur yaitu 93% APBD provinsi ini ditanggung oleh Negara yang jauh berbeda dengan bantuan untuk daerah lain.
    Alokasi dana dari Indonesia ditujukan untuk pembangunan di Timor Timur yang luasnya 14.609 km². Bantuan itu berupa dana pembangunan daerah (inpres) dan dana sektoral masing-masing berjumlah Rp 350,7 miliar dan Rp 602,4 miliar yang mendorong kemajuan di Timor Timur. Hasilnya kesejahteraan sosial , angka melek huruf, ruas jalan beraspal, hingga bangsal di Rumah Sakit pun terus bertambah. Bahkan saat semakin besar potensi untuk berpisah dengan Indonesia tahun 1999, Timor Timur masih menerima alokasi APBN sebesar Rp 187,3 Miliar untuk pembangunan provinsi, kota, desa, dan jaringan pengaman sosial, serta untuk menanggulangi kemiskinan. Sehingga Timor Timur menjadi seperti benalu bagi Indonesia bahkan sampai di akhir-akhir masa integrasinya.
Selain dana yang cukup besar dari pemerintah untuk Timor Timur, masalah daerah lain yang ikut ingin merdeka, masalah gerilya politik oleh kelompok Anti-integrasi, dan kritik serta kecaman Negara-negara barat atas pelanggaran HAM di Timor Timur yang terus ditujukan kepada Indonesia, semua itu semejak Timor Timur menjadi provinsi ke-27 di Indonesia.
   
Dan perang saudara selama 3 bulan (September-November 1975) di Timor Timur dan pendudukan Indonesia selama 23 tahun (1976-1999), sudah lebih dari 200.000 orang meninggal dan 183.000 diantaranya disebabkan tentara Indonesia yaitu karena keracunan bahan kimia dari bom. Karena hal tersebut PBB tidak setuju dengan integrasi Timor Timur ke Indonesia. Ketidaksetujuan PBB juga dikarenakan ada kaum anti-kemerdekaan yang didukung Indonesia melakukan pembantaian balasan secara besar-besaran dimana sekitar 1.400 jiwa tewas dan 300.000 jiwa dipaksa mengungsi ke Timor Barat.
    Untuk mengatasi  permasalahan di Timor Timur, pemerintah Indonesia menawarkan otonomi diperluas dengan status khusus/otonomi khusus. Namun PBB dan Portugal tetap menolak dan mendesak dengan alasan walau kebijakan itu dibuat, kedepannya Timor Timur tetap meminta referendum. Hal tersebut tentu saja merugikan Indonesia.
    Akhirnya jajak pendapat pun dilakukan untuk memberi kebebasan kepada rakyat Timor Timur untuk menerima ataupun menolak tawaran otonomi khusus. Ternyata hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan 78,5% menolak (ingin merdeka) dan 21,5% menerima (masih ingin bergabung dengan Indonesia). Dengan kata lain lebih banyak rakyat Timor Timur yang memutuskan untuk merdeka dan berpisah dari Indonesia. Kenyataan pahit tersebut harus diterima Indonesia karena itu pilihan rakyat Timor Timur sendiri.Dan pada 20 Mei 2002 Timor Timur diakui dunia sebagai Negara merdeka dengan nama Timor Leste/ Republica Democratica de Timor Leste dan mendapat sokongan dana yang luar biasa dari PBB. Dan sejak merdeka, pemerintah Timor Leste berusaha memutus segala hubungan dengan Indonesia seakan Indonesia penjajah dan tidak pernah membantu mereka. Dengan kata lain Timor Timur tidak tahu berterimakasih atas apa yang pernah dilakukan Indonesia terhadapnya.
    Lepasnya Timor Timur menjadi catatan kelam bagi Indonesia karena dipertahankan dengan penuh pengorbanan, dana, dan nyawa. Diperkirakan lebih dari 5.000 pahlawan gugur dalam perang seroja demi mempertahankan provinsi ini.
    Permasalahan lepasnya Timor Timur dari Indonesia sempat menjadi kesempatan lawan politik Presiden Habibie (yang saat itu menggantikan Presiden Soeharto) untuk menjatuhkan Presiden Habibie. Lepasnya Timor Timur juga dianggap sebagai ketidakmampuan Pak Habibie dalam mempertahankan Provinsi Timor Timur yang saat itu menjadi bagian dari Indonesia.
Namun, semua sudah jelas bahwa dari sejarahnya kita mengetahui lepasnya Timor Timur tidak lain adalah keinginan masyarakatnya sendiri ditambah desakan dunia internasional. Jadi, Indonesia dan Presiden Indonesia yang menjabat pada waktu itu tidak salah dalam kasus Timor Timur, karena Indonesia telah menjaga dan mempertahankan wilayah tersebut sebelumnya. Dan lepasnya Timor Timur adalah memang jalan keluar terbaik pada saat itu.
    Pengalaman Indonesia dalam masalah ini menjadi sebuah pelajaran tentang kehilangan suatu wilayah yang pernah dipertahankan. Dan diharapkan jangan sampai ada daerah-daerah lain di Indonesia yang menginginkan kemerdekaan seperti itu lagi. Terlebih daerah lain merupakan bagian utuh Indonesia sejak kemerdekaan dan mempunyai kesamaan nasib di masa lalu, dan bukan merupakan wilayah yang baru bergabung.

Minggu, 18 November 2012

DINASTI KEDIRI


DINASTI KEDIRI / PANJALU

        Dinasti Kediri merupakan sebuah Kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12 dan masih merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno, karena Kerajaan ini lahir atas pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga menjadi 2 Kerajaan baru pada tahun 1401.
Pembagian oleh Raja Airlangga itu dilakukan untuk mencegah ataupun menghindari terjadinya perselisihan diantara kedua putranya yang bersaing memperebutkan takhta dan sama-sama berambisi menjadi Raja. Dua Kerajaan yang dibagi oleh Raja Airlangga adalah Dinasti Kediri/ Panjalu yang beribukota di Daha dan Dinasti Jenggala yang beribukota di Kahuripan.

Batas antar dinasti Kediri dan Jenggala ada 2 versi :
-         Versi I, batasnya Gunung Kawi dan Sungai Berantas
1.    Bagian barat merupakan bagian dari Kerajaan Kediri (untuk Samarawijaya)
2.    Bagian timur merupakan bagian dari Kerajaan Jenggala (untuk Mapanji Garasakan)
-         Versi II, batasnya Kali Lamong
1.    Sebelah selatan kali menjadi bagian Kerajaan Kediri
2.    Sebelah utara kali menjadi bagian Kerajaan Jenggala


SEJARAH SINGKAT DINASTI KEDIRI



Dinasti Kediri/ Panjalu diberikan Airlangga kepada putranya yang kedua, Sri Samarawijaya keturunan Dharmawangsa Teguh, sebagai pewaris Kerajaan yang mendapat ibukota lama yang berpusat di kota Dahanapura/ Daha yang berarti kota api.
        Pada awalnya letak Kerajaan Kediri berada di Daha yang terletak di pedalaman dan merupakan Kerajaan agraris. Dalam perkembangannya, ibukota Kerajaan Kediri yang berada di Daha dipindahkan ke wilayah Kediri. Kerajaan Kediri semakin berkembang. Kemudian pusat Kerajaannya di tepi sungai berantas, pada masa itu menjadi jalur pelayaran yang ramai.
Pada masa kejayaannya Kediri berkembang menjadi Kerajaan maritim yang menguasai perairan timur wilayah Nusantara. Dan pada masa kejayaan itu wilayah Kerajaan Kediri meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.


RAJA-RAJA DINASTI KEDIRI

Masa-masa awal Kerajaan Kediri tidak banyak diketahui. Berdasarkan bukti yang sudah ada, hanya memberitahukan adanya perang saudara yang terjadi antara kedua Kerajaan sepeninggal Raja Airlangga.

Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, diketahui nama Raja-Raja yang pernah memerintah Kerajaan Kediri, antara lain :

a. SAMARAWIJAYA (1042)

Samarawijaya adalah putra Airlangga. Ia merupakan Raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan Kediri, Samarawijaya tidak diketahui dengan pasti berlangsung berapa lama masa pemerintahannya. Kemungkinan Raja Samarawijaya memulai pemerintahannya pada saat pemisahan Kerajaan oleh Airlangga, yaitu sekitar tahun 1042. Tahun itu merupakan tahun yang sama dengan tahun yang tertulis di Prasasti Pamwatan.

b. JAYASWARA (1104-1115)

Raja kedua Kerajaan Kediri adalah Sri Jayawarsa, yang disebut dalam Prasasti Sirah Keting (1104), namun belum dipastikan bahwa ia pengganti langsung Samarawijaya atau bukan. Ia merupakan Raja yang sangat giat memajukan sastra sehingga ia dikenal dengan gelar Sastra Prabu (Raja Sastra). Pada masanya Kresnayana dikarang Mpuh Triguna.

c. BAMESWARA (1115-1135)

Raja ketiga Kerajaan Kediri adalah Sri Bameswara yang disebut dalam Prasasti Pandegelan I (sekitar 1116/ 1117), Prasasti Panumbangan (1120), dan Prasasti Tangkilan (1130).

d. JAYABHAYA (1135-1157)

Raja keempat sekaligus Raja terbesar Kerajaan Kediri adalah Sri Jayabhaya yang disebutkan dalam Prasasti Hantang (1135), Prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157). Jayabhaya merupakan Raja yang menjadi kenangan bagi rakyatnya, karena pada masa pemerintahnnya Kerajaan Kediri berhasil menaklukan Kerajaan Jenggala dan berhasil mencapai puncak kejayaan Kerajaan Kediri.

e. SARWESWARA (1159-1169)

       Raja kelima Kerajaan Kediri adalah Sri Sarweswara yang disebutkan dalam Prasasti Pandegelan II (1159) dan Prasasti Kahyunan (1161).

f. ARYESWARA (1169-1180/1181)

       Raja keenam Kerajaan Kediri adalah Sri Aryeswara yang disebutkan dalam Prasasti Meleri (1169) dan Prasasti Angin Tahun (1171).

g. SRI GANDHRA (1181-1182)

        Raja ketujuh Kerajaan Kediri adalah Sri Gandhra yang disebutkan dalam Prasasti Jaring (1181), masa pemerintahannya selama kurang lebih satu tahun.

h. KAMESWARA (1182-1194)

    Raja kedelapan Kerajaan Kediri adalah Sri Kameswara yang disebutkan dalam Prasasti Ceker (1182) dan dalam Kakawin Smaradhana. Dalam Kakawin dikisahkan tentang perkawinan antara Kameswara dengan Putri Jenggala.

i. KERTAJAYA (1194-1222)

       Raja kesembilan sekaligus Raja terakhir Kerajaan Kediri adalah Kertajaya yang disebut dalam Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), Prasasti Wates Kulon (1205), dan Kakawin Negarakertagama serta Kakawin Pararaton. Dalam Kakawin dikisahkan tentang perang Ganter saat masa akhir pemerintahan Raja Kertajaya.

j. JAYAKATWANG (1292-1293)

       Jayakatwang juga merupakan Raja yang berhasil membangun kembali Kerajaan Kediri setelah berhasil memberontak terhadap Singosari sekaligus membunuh Raja Kertanegara. Namun, keberhasilannya hanya bertahan setahun akibat serangan menantu Kertanegara dan pasukan Mongol, sehingga runtuhlah Kerajaan Kediri.


PERKEMBANGAN KEJAYAAN DINASTI KEDIRI

Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya, Kerajaan Kediri mengalami masa kejayaannya. Wilayah Kerajaan Kediri pada masa pemerintahannya meliputi seluruh Jawa dan beberapa wilayah/ pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwjaya di Sumatra. Selain itu, menurut kronik China tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain China secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Dan di Jawa sendiri, yang dimaksud itu adalah Kerajaan Panjalu/ Kediri. Pada masa kejayaannya, Kerajaan ini juga berkembang menjadi Kerajaan maritim yang menguasai perairan timur wilayah Nusantara. Pada masa pemerintahan Jayabhaya juga Kerajaan Kediri berhasil menaklukan Kerajaan Jenggala.


KERUNTUHAN DINASTI KEDIRI

        Kerajaan Kediri runtuh pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, dan dikisahkan dalam Kitab/ Kakawin Pararaton dan Negarakertagama. Pada tahun 1222, Raja Kertajaya berselisih dengan kaum Brahmana. Kaum Brahmana lalu meminta bantuan kepada Ken Arok Raja dari Kerajaan Singosari. Saat itu Ken Arok juga memiliki cita-cita memerdekakan Tumapel/ Singosari dari Kerajaan Kediri. Akhirnya pasukan Kediri yang dipimpin Kertajaya berhasil dihancurkan oleh Ken Arok lewat perang yang terjadi di dekat desa Ganter, sehingga keadaan pun berbalik dan Kerajaan Kediri menjadi bawahan Singosari. Saat itu Kediri belum benar-benar runtuh.
        Saat Singosari dipimpin Raja Kertanegara (1268-1292) terjadi pergolakan dalam Kerajaan. Jayakatwang yang merupakan keturunan Kertajaya saat itu menjadi bupati Gelang-Gelang, yang selama ini tunduk terhadap Singosari bergabung dengan Bupati Sumenep dari Madura untuk menjatuhkan Kertanegara. Tahun 1292 Jayakatwang pun memberontak terhadap Kerajaan Singosari dan membunuh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya(Kertajaya) dikalahkan Ken Arok. Pemberontakan Jayakatwang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singosari. Akhirnya pada tahun 1292, Jayakatwang berhasil membangun kembali Kerajaan Kediri.
        Keberhasilan Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kediri hanya bertahan satu tahun karena ada serangan gabungan yang dilancarkan pasukan Mongol yang dikirim Kaitsar Kubilai Khan dan pasukan Raden Wijaya (menantu Kertanegara sekaligus pendiri Majapahit nantinya) serta pasukan Madura yang dipimpin Arya Wiraraja pada tahun 1293. Dalam peperangan yang terjadi, pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan sehingga benar-benar berakhir/ runtuhlah Kerajaan Kediri.


PENINGGALAN-PENINGGALAN KERAJAAN KEDIRI

        Pada masa Kerajaan Kediri, seni sastra terutama Jawa Kuno tumbuh dengan pesat, namun isi dari sastra-sastra yang ada kurang mengungkap keadaan masyarakat pada zamannnya. Gambaran kehidupan masyarakatnya justru diperoleh dari sumber asing dari China. Dari Kitab asing diketahui masyarakat Kediri memakai kain sampai lutut, rambut diurai, rumah-rumah teratur dan bersih, pertanian, dan perdagangan sudah maju, peraturan berjalan dengan baik, mata uang perak, percaya pada Dewa/ Buddha, dsb. Selain itu diketahui bahwa Kediri memiliki daerah-daerah taklukan.
        Seni sastra mendapat perhatian besar di masa Kerajaan Kediri. Peninggalan yang utama dari Kerajaan Kediri adalah di bidang kesusastraan.

Banyak karya sastra yang diciptakan para pujangga zaman Kediri, antara lain:
1.           Kakawin Bharatayuddha yang dikerjakan bersama-sama oleh 2 Mpuh, Kitab ini ditulis Mpuh Sedah dan diselesaikan oleh Mpuh Panuluh di tahun 1157 pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya. Kitab ini berisi kemenangan Pandawa atas Kurawa sebagai kiasan kemenangan Jayabhaya atas Jenggala.
2.           Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya yang ditulis Mpuh Panuluh di masa Sri Jayabhaya.
3.           Kakawin Smaradahana yang ditulis Mpuh Dharmaja pada masa pemerintahan Sri Kameswara.
4.           Kakawin Sumanasantaka yang ditulis Mpuh Monaguna dimasa Kertajaya
5.           Kakawin Kresnayana ditulis Mpuh Triguna di masa Jayaswara, yang berisi Raja Jayaswara yang dilambangkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
Selain itu peninggalan Kediri juga ada yang berupa Arca dan Prasasti-Prasasti. Peninggalan Arca seperti Arca Buddha Vajrasattva dan Arca Syiwa serta patung Airlangga. Peninggalan Prasasti yaitu Prasasti Pamwatan, Prasasti Sirah Keting, Prasasti Pandegelan I,  Prasasti Panumbangan, Prasasti Tangkilan, Prasasti Hantang,  Prasasti Talan, Prasasti Pandegelan II, Prasasti Kahyunan, Prasasti Meleri, Prasasti Angin Tahun, Prasasti Jaring, Prasasti Ceker, Prasasti Galunggung, dan Prasasti Kamulan.
Peninggalan Kediri di bidang pembangunan seperti bangunan monumental tempat-tempat pemujaan ditemukan antara lain: Candi Gurah, Candi Tondowongso, dan tempat pemandian Kepung. Semua bangunan itu menunjukkan ciri Agama Hindu, sehingga dapat disimpulkan bahwa Agama Hindu merupakan Agama utama yang dianut masyarakat di masa Kerajaan Panjalu/ Kediri.

G 3OS/ PKI


GERAKAN 30 SEPTEMBER / PKI

Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
LATAR BELAKANG
PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis". Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia. Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
  • Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  • Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
  • Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  • Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
  • Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
  • Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
  • Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
  • Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
  • Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca kejadian

Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Pembantaian di Indonesia 1965–1966 dan Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967. Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.

Daftar tokoh yang meninggal dalam pembersihan komunis Indonesia

Berikut adalah daftar tokoh penting di Indonesia yang hilang, terbunuh atau dihukum mati pada masa pembersihan komunis di Indonesia paska Gerakan 30 September 1965.
  • Chaerul Saleh, pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri, wakil perdana menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966. Salah satu pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. (meninggal 1967 sebagai tahanan)
  • DN Aidit, ketua PKI (meninggal ditembak 1965)
  • Lukman Njoto, Menteri Negara pada masa pemerintahan Soekarno dan wakil Ketua CC PKI yang sangat dekat dengan D.N. Aidit (ditangkap 1966 dan hilang)
  • Muhammad Arief, pencipta lagu "Genjer-genjer"
  • M.H. Lukman, Wakil Ketua CC Partai Komunis Indonesia. Termasuk dalam pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok (dihukum mati 1965)
  • Sudisman, anggota Politbiro CC PKI.
  • Untung Syamsuri, Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September pada tahun 1965. (dihukum mati 1969)
  • Wikana, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, bersama Chaerul Saleh dan Sukarni termasuk dalam pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. (hilang)